Tengku Hasan Muhammad Di Tiro lahir di Pidie, Aceh,
pada 25 September 1925 di Tanjong Bungong, Lameulo, sekitar 20 km dari Sigli.
Hasan Tiro merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku
Muhammad Hasan. Dia adalah keturunan ketiga dari
kesultanan Aceh Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro.
Dia
memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional dari Colombia University.
Di negeri itu ia menikah dengan Dora seorang wanita Amerika Serikat keturunan
Yahudi. Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun
jaringan bisnis di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur
hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini dalam bukunya
The Price of Freedom.
Pandangan
politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa
Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Hasan Tiro
memprotes tindakan itu. Bulan September 1954 dia mengirimkan sepucuk surat
kepada sang perdana menteri
Kecewa
dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI. Dia
bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh
(1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara
Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di
Desa Cisampah, Tasikmalaya, 7 Agustus 1949. Di DI/TII Aceh Hasan Tiro menjabat
sebagai menteri luar negeri, dan karena jaringannya yang dianggap luas di
Amerika Serikat dia pun mendapat tugas tambahan sebagai “dutabesar” di PBB.
Setidaknya
ada beberapa sebab praktis yang ikut mendorong pemberontakan DI/TII yang secara
bersamaan terjadi di tiga propinsi, Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Pertama berkaitan dengan rasionalisasi tentara. Banyak tentara dan laskar
rakyat yang ikut berjuang dalam perang revolusi tidak dapat diakomodasi sebagai
tentara reguler. Kedua, pemberontakan ini juga merupakan ekspresi kekecewaan
terhadap hubungan pemerintahan Sukarno yang ketika itu semakin dekat dengan
kubu komunis.
Di tahun
1961 Daud Beureuh mengubah Aceh menjadi Republik Islam Aceh (RIA). Tetapi di
saat bersamaan, gerakannya mulai melemah setelah SM Kartosoewirjo dilumpuhkah.
Adapun Kahar Muzakar dinyatakan tewas dalam sebuah pertempuran di belantara
Sulawesi tahun 1965.Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin,
yang berhasil meyakinkan Daud Beureuh untuk kembali bergabung dengan Republik
Indonesia. Tanggal 9 Mei 1962 Daud Beureuh ditemani antara lain komandan
pasukannya yang setia, Tengku Ilyas Leube, pun turun gunung. Bulan Desember
perdamaian dirumuskan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.
setelah
pemberontakan DI/TII melemah, Hasan Tiro ikut melunak. Pertengahan 1974 dia
kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad,
Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan
tambang gas di Arun.
Tapi
Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah
perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde
Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
Pada
tahun 1976 Hasan Di Tiro mendirikan Front Pembebasan Nasional Aceh - Sumatera ,
lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka ( Gerakan Aceh Merdeka , atau GAM )
. Dia mengklaim bahwa Indonesia adalah negara yang tidak sah dan bahwa Aceh
harus merebut kembali kemerdekaan pra - 1873 -nya . GAM meluncurkan kampanye
dan di separatis, setelah terluka pada tahun berikutnya , Hasan Di Tiro melarikan
diri ke Swedia , di mana ia mengambil kewarganegaraan Swedia dan mengawasi
perjuangan separatis . Perjuangan naik dan turun lebih dari tiga dekade dalam
menanggapi penindasan militer Indonesia . Korban tewas perang brutal Aceh telah
diperkirakan antara 15.000 dan 30.000 .
Pada tahun 1990-an , Hasan
Di Tiro mengalami dua stroke , yang membatasi kemampuannya untuk mengarahkan
perang . Tapi dia terus diperlakukan dengan sangat hormat oleh GAM pemimpin
politik dan militer , semua keputusan penting yang ditetapkan sebelum dia mengambil
tindakan .
Pada puncak kekuasaan
GAM pada tahun 2002 itu menguasai sebagian besar Aceh . Pada tahun 2003 tentara
Indonesia meluncurkan kampanye militer terbesar , mengirimkan 70.000 tentara
dan polisi paramiliter ke Aceh , mendorong GAM dari sebagian besar '' zona
dibebaskan nya '' .
Pada
tahun 2004 pemerintah Indonesia baru mulai menjajaki pembicaraan damai . Hal
ini menyebabkan perjanjian pada tanggal 24 Desember 2004, untuk mengadakan
pertemuan pada awal tahun 2005. Dua hari kemudian , tsunami melanda Aceh ,
menewaskan sekitar 170.000 orang dan menambahkan urgensi baru untuk menemukan
resolusi untuk perang .
Hasan Di Tiro terlalu
lemah untuk berpartisipasi dalam pembicaraan damai akhirnya, tetapi melalui
pertemuan rutin di Stockholm , para perunding GAM menerima berkat-Nya untuk
setiap tahap proses. Ketika
perang saudara meletus kembali setelah tsunami melanda, Hasan di Tiro
meninggalkan Indonesia , mengawasi gerakan GAM dari pengasingan di Swedia , di
mana ia menjadi warga negara . Pada tanggal 15 Agustus 2005, GAM menandatangani
perjanjian perdamaian dengan pemerintah Indonesia , yang diikuti oleh misi
monitoring Aceh diatur dengan bantuan dari Uni Eropa . Perdamaian selanjutnya
membuka jalan bagi Hasan di Tiro kembali ke Indonesia.
Dan
pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro terbaring sakit. Jantung, dan komplikasi organ
dalam, memaksanya berdiam di Rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Tekanan
darahnya 70-40. Seiring dengan dunia yang terus berputar, dan waktu menjawab
banyak persoalan. Kamis, 4 Juni 2010, 26 jam setelah pemerintah Indonesia
memberikan hak kewarganegaraan Indonesia kepadanya, Hasan Tiro menghembuskan
nafas terkahir di Banda Aceh. Ia dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku
Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua petualangan dan
perjuangan ideologisnya. Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari
itu, orang-orang Aceh meratap. Beliau meninggalkan seorang istri Dora, dan anaknya
Karim Di Tiro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar