Kemarin saya akhirnya bisa menonton film yang
sempat booming di kalangan anak muda Indonesia, film berjudul
“5 cm”. Telat? Ya, memang saya akui sangat telat kalau saya baru menonton
sekarang. Pertama, memang dari awal kemunculan film itu saya tidak se-excited orang
lain untuk menontonnya. Kedua, sampai sekarang (maaf) saya masih suka underestimate dengan
film-film nasional, jadi memang film produksi Indonesia belum pernah menjadi
daftar wajib tonton di bioskop buat saya, bahkan “The Raid” yang sampai dapat
penghargaan di luar negeri. Yang jadi daftar wajib tonton di bioskop bagi saya
kebanyakan film barat. Sekali lagi maaf, bukan bermaksud melecehkan film
nasional, tapi bagi saya hanya ada beberapa film nasional yang memang
benar-benar bermutu baik dari segi cerita, akting pemainya, pesannya, maupun
sinematografinya.
Saya akhirnya weekend ini
menonton film “5 cm” juga karena penasaran. Penasaran karena katanya banyak
anak muda terinspirasi dari film ini, filmnya bagus, menyentuh, dan sebagainya.
Akhirnya saya menontonnya. Dan ini yang saya dapatkan dari film “5 cm”.
1. Akting para pemainnya tampak kaku. Saya tidak tahu apakah
karena aktor dan aktrisnya yang jelek atau karena skenario/script-nya yang
jelek. Kalau dari segi aktor dan aktrisnya saya rasa tidak mungkin. Mereka saya
nilai pemain film yang sudah berpengalaman. Kecuali mungkin Deny Sumargo dan
Igor Saykoji yang jarang bermain di film.
2. Penggambaran persahabatan yang kurang
akrab. Diceritakan bahwa para tokohnya telah bersahabat selama 10
tahun. That’s a long period of time. Tetapi dalam film itu mereka
berlima masih kelihatan kurang akrab. Masih terlihat ada jarak, terutama ketika
berbicara satu sama lain. Mungkin ini berhubungan dengan dialog atauscript yang
kaku tadi. Setidaknya seperti itu yang saya lihat dalam film ini. Saya dan para
sahabat saya kok rasanya tidak sekaku itu, lebih akrab, padahal baru bersahabat
selama 6 tahun.
3. Grafik jalan ceritanya kurang bagus. Dulu saat SMA guru
pelajaran Bahasa Indonesia saya pernah bilang bahwa kalau ingin membuat sebuah
cerita (terutama fiksi) yang bagus itu diawali dengan hal yang biasa dulu,
datar. Lalu lama-lama naik, lama-lama makin kelihatan konfliknya sampai
konfliknya memuncak. Setelah itu baru turun, mulai ada penyelesaian konflik dan
akhirnya datar lagi.
Dari beberapa fiksi yang pernah saya baca dan
tonton, akan lebih bagus lagi ketika di tengah-tengah cerita menuju konflik
utama diselipi dengan konflik-konflik kecil yang langsung terselesaikan. Contoh
yang nyata tentang grafik jalan cerita yang bagus adalah dalam film “3 Idiots”.
Ketika menonton film ini perasaan penonton serasa dibolak-balik.
Beda ketika saya menonton film “5 cm”. Jalan
ceritanya dari yang datar tiba-tiba langsung naik ke konflik utama. Dari menit
awal ceritanya sangat datar, hanya menceritakan persahabatan para tokohnya,
kebiasaan mereka berlima, aktivitas mereka sehari-hari. Bahkan ketika akan
mulai memuncak tiba-tiba ceritanya datar lagi. Tetapi tiba-tiba menit ke
01:31:48 konfliknya sudah memuncak, yaitu saat mereka berenam mendaki ke puncak
kemudian ada batu berjatuhan dari atas. Saya bukannya terharu atau tegang tapi
malah melongo, kok tiba-tiba begini? Tadi kayanya jalan ceritanya masih datar,
kok tiba-tiba sudah ada batu jatuh, sudah ada yang terluka, pada nangis.
Menurut saya itu aneh.
4. Terlalu memaksakan adegan dan dialog
yang inspiratif. Yang saya soroti terutama pada menit ke 01:00:30 yaitu saat
mereka berenam sampai di lereng gunung Semeru. Saat berada di atas jip lalu
memandang puncak gunung. Di adegan ini tiba-tiba mereka berenam mengeluarkan
kata-kata puitis, kata-kata mutiara. Kalau tidak salah kira-kira bunyinya “kaki
yang akan melangkah lebih jauh dari biasanya” dan seterusnya itu. Padahal
sebelum berkata seperti itu mereka bercanda satu sama lain. Sekali lagi masalah
ketiba-tibaan ini akhirnya menjadikan adegannya terlalu maksa.
Tujuannya mungkin bagus, agar inspiratif. Tapi bagi saya, ketiba-tibaan dari
yang tadinya bercanda langsung menjadi puitis ini malah tampak aneh, tampak
terlalu didramatisir.
5. Ada beberapa keanehan dan ketidaklogisan
dalam film ini. Pertama, pada menit ke 49:00:32 saat si Ian mengejar
kereta api kenapa harus susah-susah lari mengejar gerbong yang ada
teman-temannya? Kan bisa langsung naik ke gerbong yang terdekat dengan dia, toh
di dalam kan bisa bertemu, kereta api kan gerbongnya saling menyambung. Menurut
saya, si sutradara ingin membuatnya lebih dramatis, tapi akhirnya jadi tidak
logis.
Kedua, yang saya tahu orang
kalau mau naik gunung dalam artian camping itu tascarrier-nya
tidak sekecil dan sekempes yang digambarkan di film tersebut. Tas carrier-nya
pasti penuh dengan sleeping bag, matras, bahan makanan, persediaan
air minum, pakaian hangat, alat makan, alat survival, obat P3K, dan
perlengkapan lain. Belum lagi tenda doom itu juga lumayan makan tempat, tapi
tidak terlihat mereka membawa tenda doom, tiba-tiba mereka sudah mendirikan
tenda doom. Kecuali memang cuma mauhiking dan tidak sampai camping,
mungkin cukup bawa tas hiking seperti yang terlihat dalam foto
profil saya itu.
Ketiga, pada menit ke 01:27:51
tiba-tiba si Arial kedinginan, tidak diceritakan prosesnya dari mulai
kedinginan ringan, mulai lemas, lalu menggigil (kedinginan hebat). Ini
tiba-tiba dia langsung menggigil hebat bahkan hampir tidak bisa melanjutkan
perjalanan. Anehnya lagi dia kan yang badannya paling atletis karena sering
olahraga, tapi kenapa justru dia yang sampai lemah seperti itu, sedangkan yang
perempuan saja kelihatan sehat walafiat. Dan setelah itu tiba-tiba Arial sudah
tidak kedinginan sama sekali.
Keempat, terlalu memaksakan
adegan heroik terutama yang tampak sekali pada menit ke 01:42:30. Saat mereka
telah sampai di puncak tiba-tiba mereka berdiri di tengah-tengah dikelilingi
para pendaki yang lain. Sudah begitu mereka tiba-tiba berdeklamasi tentang
persahabatan dan kebanggaan mereka pada Indonesia. Anehnya lagi para pendaki
lain kok mau-maunya mendengarkan, memperhatikan, seperti menjadikan mereka
berenam sebagai point of interest. Memangnya mereka siapa? Kok
sampai menarik bagi para pendaki lain. Lalu para pendaki ini datangnya
bersamaan, berbaris, padahal di adegan sebelumnya tidak tampak pendaki sebanyak
itu. Saat mereka kejatuhan batu saja tidak ada pendaki lain yang datang
membantu. Atau para pendaki ini datangnya pakai helikopter?
Kelima, pada menit ke 01:46:00
adegannya tampak “sinetron banget”. Yaitu saat mereka akan berenang di telaga
setelah turun dari puncak. Mau menceburkan diri kok pakai gantian. Si Genta
nyebur dulu, lalu gantian si Arial nyebur, lalu si Zafran, lalu disusul yang
lainnya. Menurut saya akan lebih natural jika mereka menceburnya saling
menyusul tapi hampir bersamaan. Tidak perlu menunggu si Arial menceburkan diri,
berenang-renang agak lama, baru si Zafran menceburkan diri. Menurut saya akan
lebih bagus jika pengambilan gambarnya dari jauh (tidak perseorangan/per tokoh)
lalu terlihat mereka saling susul menyusul menceburkan diri ke telaga. Mau
nyebur saja kok antri? Kok giliran satu-satu? Kaku.
Film ini diadaptasi dari sebuah novel dengan
judul yang sama. Saya sendiri belum pernah membacanya, jadi saya tidak tahu
apakah novelnya juga sama anehnya dengan filmnya. Karena kadang ada novel yang
difilmkan jadi lebih bagus, lebih hidup. Tapi banyak juga novel yang difilmkan
jadi malah tambah jelek, karena memang imajinasi orang ketika membaca itu
berbeda-beda.
Over all saya paham kenapa
banyak orang terinspirasi oleh film ini. Tidak saya pungkiri bahwa memang ada
sisi inspiratif dari film ini, cuma mungkin pengemasannya yang kurang maksimal.
Yang jelas akan lebih inspiratif lagi ketika anda mengalami sendiri bagaimana
rasanya naik gunung. Dengan naik gunung akan terlihat watak asli seseorang,
apakah ia apatis, egois, atau setia kawan. Dan dengan naik gunung pula kita
diajarkan bahwa suatu saat kita harus turun dari puncak. Seindah dan senikmat
apapun rasanya berada di puncak, tetap saja kita harus turun. Itu yang pernah
saya pelajari sendiri, tanpa harus menonton film ini.
By T. Wahidul Qahar
(1010102010103)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar