Kamis, 02 Januari 2014

MENGINTIP KREATIFITAS ANAK MUDA BANDA ACEH

Berbicara mengenai kreatifitas memang tidak ada batasnya, itu dikarenakan kreatifitas bukan terfokus pada satu bidang saja, namun hampir di semua bidang terdapat kreatifitas. Apalagi sesuatu yang dilakukan oleh anak muda sendiri khususnya di kota Banda Aceh.Kreatifitas anak muda di kota Banda Aceh kini telah ‘kian meruah’, pasalnya hampir semua kreatifitas dalam beberapa bidang memiliki komunitasnya sendiri, seperti komunitas film, musik, hip-hop, break dance, desain, photographer dan lain-lain, yang bertujuan untuk mengembangkan bakat yang ada di dalam diri mereka, sekaligus menarik perhatian pengunjung dari luar kota Banda Aceh. Banyak cara yang dilakukan untuk memperkenalkan budaya dan bahasa daerahnya kepada dunia luar, melalui seni tari, menyanyi, pameran kerajinan dan lain sebagainya.

Salah satu komunitas film yang ada di kota Banda Aceh adalah “Lamp On Aceh Film Community”. Komunitas ini terdiri dari sekumpulan anak muda yang bermodalkan semangat dan kegigihan untuk mengembangkan dan memajukan kreatifitasnya di bidang perfilman di Aceh. Siapa sangka, komunitas yang baru tiga tahun ini berdiri, telah menelurkan lebih dari 25 film baik fiksi, dokumenter maupun lainnya. Beberapa di antaranya telah memenangi festival lokal maupun nasional. Film dokumenter “Ironi Dibalik Gaptek” meraih juara II pada Festival Video Edukasi 2011 pada Kementrian Pendidikan yang berlangsung di Surabaya, film dokumenter “Pulo Aceh Surga yang Terabaikan” meraih juara audience choice pada International Documentary Film Festival SBM Golden Lens 2012 di Kedutaan Besar Belanda. Baru-baru ini sebuah film pendek berjudul “Jameun-Jinoe” telah membawa komunitas film Lamp On Aceh mewakili Aceh pada Jambore Film Pendek Nasional di Jakarta. Luar biasa bukan kreatifitas anak muda Aceh kita ini.

Selain di bidang perfilman, kreatiftas pemuda kota Banda Aceh juga merambat ke bidang musik. Ini terbukti dari beberapa event, baik musik atau ajang kreatifitas lain, angka partisipasi masyarakat yang cukup tinggi. Komunitas lain seperti “Komunitas Kanot Bu” yang berkhidmat pada gerakan kebudayaan secara umum. Menyebarkan nilai-nilai melalui ekspresi kebudayaan. Baik itu sastra, rupa dan corong kesenian lain. Penerbitan karya dalam bentuk buku kerap dilakukan dengan swadaya dan terbatas. Acara-acara kebudayaan yang pernah digelar lebih diutamakan untuk masyarakat yang tidak memiliki akses menikmati produk kesenian. “Komunitas Kanot Bu” sampai saat ini tetap merangkak menerjemahkan zaman melalui alat kebudayaan Aceh. Sejauh ini “Komunitas Kanot Bu” telah membentuk empat Lini Aksi sebagai wadah pengekspresian para anggotanya sesuai selera seninya masing-masing. Lini Aksi tersebut terdiri dari lini desain grafis yang mengkhususkan diri mendesain dan mencetak kaos-kaos khas Aceh bernama ‘Geulanceng’, lini perfilman dan fotografi bernama Lensa Kiri, lini penerbitan buku-buku indie bernama ‘Tansopako Press’, serta lini hikayat dan musik etnik bernama ‘Seungkak Malam Seulanyan’. Dengan lini-lini aksi tersebut, “Komunitas Kanot Bu” sedikit banyaknya telah membuka ruang kreasi anak-anak muda Aceh yang ada di dalamnya untuk terus berkarya sampai ke taraf profesional.

Investasi di kota Banda Aceh akan semakin baik apabila juga dilakukan langkah-langkah dengan mengelola inisiatif dan kreatifitas anak-anak muda di kota Banda Aceh. Adanya kreatifitas anak-anak muda di kota Banda Aceh ini tentu menjadi investasi sumber daya dalam waktu jangka panjang. Selain itu juga investasi yang baik selain membangun kebijakan yang adil dan kuat seperti memproteksi kepentingan lokal serta memberi kenyamanan kepada investor asing. Yang tidak boleh dilupakan adalah kegiatan investasi tersebut mesti memiliki sensitifitas terhadap kearifan budaya lokal.





Penulis : Rahmatina
Nim     : 1010102010155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar