Berbicara mengenai kreatifitas memang tidak ada
batasnya, itu dikarenakan kreatifitas bukan terfokus pada satu bidang saja,
namun hampir di semua bidang terdapat kreatifitas. Apalagi sesuatu yang
dilakukan oleh anak muda sendiri khususnya di kota Banda Aceh.Kreatifitas anak muda di kota Banda Aceh kini telah ‘kian
meruah’, pasalnya hampir semua kreatifitas dalam beberapa bidang memiliki
komunitasnya sendiri, seperti komunitas film, musik, hip-hop, break dance, desain, photographer dan lain-lain, yang
bertujuan untuk mengembangkan bakat yang ada di dalam diri mereka, sekaligus
menarik perhatian pengunjung dari luar kota Banda Aceh. Banyak cara yang dilakukan untuk memperkenalkan budaya dan
bahasa daerahnya kepada dunia luar, melalui seni tari, menyanyi, pameran
kerajinan dan lain sebagainya.
Salah satu komunitas film yang ada di kota Banda
Aceh adalah
“Lamp On Aceh Film Community”. Komunitas ini terdiri dari sekumpulan anak
muda yang bermodalkan semangat dan kegigihan untuk mengembangkan dan memajukan
kreatifitasnya di bidang perfilman di Aceh. Siapa sangka, komunitas yang baru
tiga tahun ini berdiri, telah menelurkan lebih dari 25 film baik fiksi,
dokumenter maupun lainnya. Beberapa di antaranya telah memenangi festival lokal
maupun nasional. Film dokumenter “Ironi Dibalik Gaptek” meraih juara II pada
Festival Video Edukasi 2011 pada Kementrian Pendidikan yang berlangsung di
Surabaya, film dokumenter “Pulo Aceh Surga yang Terabaikan” meraih juara audience choice pada International Documentary Film Festival SBM
Golden Lens 2012 di Kedutaan Besar Belanda. Baru-baru ini sebuah film
pendek berjudul “Jameun-Jinoe” telah membawa komunitas film Lamp On Aceh mewakili Aceh pada Jambore
Film Pendek Nasional di Jakarta. Luar biasa bukan kreatifitas anak muda Aceh kita
ini.
Selain di bidang perfilman, kreatiftas
pemuda kota Banda Aceh juga merambat ke bidang musik. Ini
terbukti dari beberapa event, baik
musik atau ajang kreatifitas lain, angka partisipasi masyarakat yang cukup tinggi. Komunitas lain seperti “Komunitas Kanot Bu” yang
berkhidmat pada gerakan kebudayaan secara umum. Menyebarkan nilai-nilai melalui
ekspresi kebudayaan. Baik itu sastra, rupa dan corong kesenian lain. Penerbitan
karya dalam bentuk buku kerap dilakukan dengan swadaya dan terbatas. Acara-acara
kebudayaan yang pernah digelar lebih diutamakan untuk masyarakat yang tidak
memiliki akses menikmati produk kesenian. “Komunitas Kanot Bu” sampai saat ini
tetap merangkak menerjemahkan zaman melalui alat kebudayaan Aceh. Sejauh ini “Komunitas Kanot Bu” telah
membentuk empat Lini Aksi sebagai wadah pengekspresian para anggotanya sesuai
selera seninya masing-masing. Lini Aksi tersebut terdiri dari lini desain
grafis yang mengkhususkan diri mendesain dan mencetak kaos-kaos khas Aceh
bernama ‘Geulanceng’, lini perfilman dan fotografi bernama Lensa Kiri, lini
penerbitan buku-buku indie bernama ‘Tansopako Press’, serta lini hikayat dan
musik etnik bernama ‘Seungkak Malam Seulanyan’. Dengan lini-lini aksi tersebut,
“Komunitas Kanot Bu” sedikit banyaknya telah membuka ruang kreasi anak-anak
muda Aceh yang ada di dalamnya untuk terus berkarya sampai ke taraf profesional.
Investasi
di kota Banda Aceh akan semakin baik apabila juga dilakukan langkah-langkah
dengan mengelola inisiatif dan kreatifitas anak-anak muda di kota Banda Aceh.
Adanya kreatifitas anak-anak muda di kota Banda Aceh ini tentu menjadi
investasi sumber daya dalam waktu jangka panjang. Selain itu juga investasi
yang baik selain membangun kebijakan yang adil dan kuat seperti memproteksi
kepentingan lokal serta memberi kenyamanan kepada investor asing. Yang tidak
boleh dilupakan adalah kegiatan investasi tersebut mesti memiliki sensitifitas
terhadap kearifan budaya lokal.
Penulis : Rahmatina
Nim : 1010102010155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar